Catatan Diri, ‘Sang Pencerah’ dan Dusun di tepi Sungai

***
Hujan mengiringi perjalananku menuju studio 21 di ruang nomer 1, di kursi G 7 duduk menyaksikan sebuah film 'sejarah'  titelnya cukup menggerakkan, "Sang Pencerah" sebuah film karya Hanung Bramantyo. Ini, kali kesebelas duduk menonton di 21. ah itu tak penting aku ceritakan. agak terlambat beberapa detik di layar pembuka, tentu tak bisa minta di ulang. siapa saya gitu lho. secara ringkas film bercerita soal perjalanan kehidupan Muhammad Darwis, dari seorang anak Kyai di Kauman, pengusaha batik, kemudian naik haji dan berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Diangkat menjadi penggede masjid Gede Kauman, dan sampai mendirikan persyarikatan Muhammadiyah.

***
Beberapa tahun yang silam,
aku bertemu dengan seorang lurah di pegunungan Dieng, Ahmad Musta'in namanya, namun ia biasa dipanggil Pak Mat. Lelaki anak seorang imam besar masjid Batang yang merelakan dirinya naik ke pegunungan untuk membangun Desa Gerlang yang berbatasan langsung dengan Banjarnegara dan Wonosobo, menanam kentang, mengurus sekolah, mengurus masjid, menata, mencerdaskan, mengorganisir, memikirkan kesejahteraan warganya. Ia tinggal bersama istri dengan dua anaknya, dan satu orang saudara dari istrinya. "Dulu waktu sekolah, saya itu penggiat Ikatan Pelajar Muhammadiyah Daerah Kabupaten Batang, saya belajar banyak mengenai organisasi di sana, terus waktu saya memutuskan untuk naik ke gunung ini, semua arsip yang saya punya saya bakar, saya tak ingin disangkutkan, jika entah kelak organisasi itu menjadi terlarang, biarlah kutinggal kenangan di bawah (di Batang), biarkan orang sini mengenal saya sebagai Pak Mat saja, Pak Mat yang membeli sepetak tanah, mendirikan rumah, belajar menanam kentang dan belajar bersama warga Gerlang" ceritanya waktu itu ketika sore menjelang malam di kamar tengah tempat sofa berjajar dan kepulan asap rokok penghangat badan.

***
Anak-anak kecil sudah bersorak ramai, jam sudah menunjuk pukul 07.30 WIT. Bermain pelorotan, jungkat jungkit atau bercerita bersama kawan sebayanya. terkadang ada juga yang masih meler hidungnya mencipta angka 11 di atas bibir tipisnya. Ruangnya memang agak baru, sekolah yang lama tepat berada di sebelahnya kayu dan tampak tua, tempat aku merebahkan badan bersama kawan-kawan. Di depan hanya ada pohon jambu dersono. Sebuah Sekolah Taman Kanak-Kanak Bustanul Atfal di Materabu Jaya tanah Papua. "Sekolah TK ini saya bangun bersama warga transmigran yang tinggal di sini. Tanah yang kita gunakan masih milik negara yang khusus untuk fasilitas umum" cerita Pak Mahdi, seorang transmigran dari Jawa Timur yang juga menjabat sebagai Sekretaris Kampung. Sekolah itu kecil, hanya berukuran 4 x 6 meter, namun sudah mester dan berplester. ada bangku dan kursi, tempat Bu Mahdi dibantu seorang tetangga mengajar, semuanya dari urunan para warga dan wali murid, dan donatur yang tidak mengikat. Semua di bangun dengan gotong royong, kerja bakti yang tiada henti. TK ABA sengaja dipilih karena memang Pak Mahdi dulu sempat mengenyam sekolah di perguruan Muhammadiyah di Jawa Timur, selain itu pasti ada alasan lain tentunya, eksistensi kejawaan, bisa saja.

***
“Sholat jamaah aja kita susah, adzan aja baru bisa kita kumandangkan di masjid mulai tahun 1993, walau memang kita sering bertemu dan berkumpul bersama di Muhammadiyah Daerah Denpasar” terang mas Sisum. “Lewat muhammadiyahlah saya merasa ada teman dan memang  ada benarnya, jika memang kamu ingin menguji imanmu, beradalah di komunitas yang sangat sedikit kawan seagamamu, kamu akan tahu lebih banyak apa makna toleransi, saling menghargai, bertetangga dan juga menghargai agamamu sendiri dan agama orang lain”, terang dia kemudian. Rumahnya di Komplek tertutup rapat dari udara luar, walaupun memang berhimpit benar, jarak antar rumah, ia tak mau menghirup dupa yang dinyalakan tetangganya, tentu itu hak di ruang privat, di luar tentu tak bisa demikian, harus srawung dan berlaku sebagai manusia social menghargai dan menghormati sesama. “Di sini lebih enak mas saya punya teman beribadah banyak, cari masjid tidak susah. Saya lebih suka hidup di sini mas dari pada kembali ke Bali, anjing tetangga kadang sering masuk ke teras rumah dan setiap kali kita harus membersihkan diri agar tak kena najis” cerita anaknya ketika ku temui di tempat kosnya di Bandung.

***

Ketika ruwah, masih ku ingat para tetangga berkumpul di tempat Pakdhe untuk menyelenggarakan dekahan. Membawa ancak dari pelepah pisang, ada nasi, sayur, pisang, jajan pasar dan kerupuk. Masih ku ingat pula, setiap 17-an selalu ada gamelan dibunyikan, wayangan di selenggarakan, selang-seling dengan pertunjukan kethoprak. Masih ku ingat pula, orang datang meminta bapakku untuk ikut meyasinkan orang yang sudah sekarat atau pulang membawa berkat. Ada uang terbungkus kertas walau hanya seratus perak dari selametan 7 hari, 40 hari, 100 hari sampai 1000 hari orang meninggal. Atau menyelenggrakan miwit di pinggir sawah. Itu semua terjadi ketika aku masih suka nyebrang sungai untuk sekedar melihat Limbukan atau goro-goro wayangan di dusun tetangga.
Seiring waktu berjalan membarengi kedewasaanku, upacara selametan, miwit, wayangan dan kethoprak itu mulai hilang tak tersisa, hanya berbekas di ingatan para tetangga. Walau kadang masih ada juga brokohan dan surtanah yang dibagikan mentahan tidak lagi matengan dan mengundang orang. Aku hidup di lingkungan yang boleh dibilang kampong Muhammadiyah, mungkin seperti seperti Kauman atau Kota Gede, begitulah warga dusunku mengidentikan dirinya.

Semua bermula dari para tetua yang lebih banyak belajar di Mahad Islamy Kota Gede atau belajar di Masjid Syuhada’ Yogyakarta. Aku masih ingat cerita seorang muda yang gigih dengan sepeda ting krengket, sepeda tua yang menemaninya memburu pengatahuan agama di Masjid Syuhada’, belajar membaca kitab dengan benar secara lafalnya, pulang mengajarkanya kepada teman sebayanya untuk kemudian mengajarkanya kepada adik-adiknya di dusun. Membangun bersama Madrasah Diniyah Al-Quran Aisyiah (MDAA), menarik anak muda desa untuk membantunya memberikan training bersama, mengundang pengajar dari Badko TPA AMM Kota Gede, mengajari kita bagaimana membaca dengan benar dan bertingkah dengan benar supaya seleh dan sholeh. Ya seorang muda yang di cuthat, dikucilkan dari akar sejarah hidupnya hanya karena ia mengikuti partai yang berbeda dari orang muhammadiyah pada umumnya.



Aku pun masih ingat cerita, seorang muda generasi di atasnya, yang rela bersepeda, dengan berbekal ketela, menuju tengah kota, hanya untuk mencuri dengar pengajaran membaca kitab di masjid syuhada’ dan kemudian mengajarkannya kepada ibu-ibu tua muda, bagaimana cara sholat yang benar, bacaan-bacaan sholat dan doa-doa yang harus dirapalkan untuk menjaga diri dari tama dan dosa. Bahkan dari saya mulai ada hingga kini, di setiap khotbah jumat tak ada yang berbeda yang disampaikannya, selalu itu-itu saja ayat dan hadis yang diucapkan, bukan karena tak membaca, tetapi ada sosok yang ia ugemi dan kagumi, Al Ma’un, Muhammad Darwis dari Kampung Kauman.

Adalah TBC (Tahayul Bid’ah dan Khurafat) yang coba dientaskan dari dusunku di awal gerak para tetua. Pohon-pohon besar yang dianggap banyak penunggu dibikin tumbang, slametan, dekahan, tabur bunga dan receh di depan keranda yang berjalan, yasinan mulai hilang sedikit demi sedikit. Bukan tanpa perlawanan, nerak paugeran, ora ngumumi, ora njawani dan tidak nguri-uri kabudayan predikat dan nalar yang harus diselaraskan. Pelan namun pasti semunya hilang tanpa pertentangan yang berarti. Walau disana-sini tentu masih ada yang harus di koreksi.

Aku pun masih ingat, sebuah rumah di tengah dusun, yang dijadikan tempat sekolah bersama, ketika Sekolah dasar sedang di bangun dari wakaf tanah Mbah Mangun, seorang sinder/mandor tebu di masa mudanya. Akupun masih ingat saat duduk di kelas satu SD Muhamadiyah, belajar di sebuah rumah, di samping komplek sekolah. Bermain bersama di TK ABA di gedung tua peninggalan Belanda. Aku dididik di lingkungan muhammadiyah, walau ibuku mambu-mambu NU. Ya harus ku akui bahwa aku belajar banyak di organisasi ini. Sejak SD aku belajar soal Kemuhammadiyahan, seorang guru yang cukup cerdas tangkas dan tegas mengajariku, selalu saja kuperoleh nilai bagus untuk pelajaran ini. Sehabis itu aku bergabung dengan para remaja, ketika mengaji dan rapat menjadi agenda setiap minggu, belajar mengenai pertemanan, berorganisasi yang benar, dinamika kelompok, membuat pelatihan, pertemuan, bertutur, dolanbersama dan bercanda gembira. Aku masih ingat saat-saat itu ketika bermain ke dusun-dusun, menjadikan aku mengenal karakter orang, karakter desa, dusun dan organisasi sosial, berbincang mengenai keinginan, cita-cita dan efektifitas gerakan. Aku masih ingat sandal Neckermann ku hilang saat selesai berbuka di desa tetangga.

***
Memulai dari hal yang paling sederhana, dari kentut untuk mengenal Tuhannya, dari diri sendiri untuk menemukan Gusti, belajar dari keingintahuan, bukan dari Kyai atau dari penceramah yang bisanya sesorah dan terkadang nggebyah uyah. Perlahan dan pasti ketika semua sudah menjadi dinasti dalam organisasi, islamisasi menjadi arabisasi, semua saling membentengi diri, mengkotakkan diri, mulai kutinggalkan aktivitas mengaji. Mulai ku mengkaji kembali, soal kemanusiaan, soal diri dan keingintahuan menempuh jalan sendiri di tengah sebagian masyarakat yang senang mencaci dan tak berkreasi, sibuk mempertahankan eksistensi diri.

Sepotong demi sepotong aku belajar membaca, menanyai diri lewat ali syariati, mukadimah ibnu khaldun, cinta dari sang Nabi, humanism ala Bunda Teresa, pluralism ala Gus Dur, Altruisme gaya romo Mangun lewat muridnya Darwis Khudori. Belajar menjadi diri, mulai mencacat dan mencatat perjalanan social masyarakat, belajar detail, melakukan hal kecil yang berarti bagi diri yang ingin menjadi. Tentu semua harus terus dikoreksi, dikritisi, ditandai dan ditengarai, agar tidak kehilangan akar tidak lupa diri (walau kadang ini sering terjadi) dan tetap ngambah bumi.

***
Mengajari menumbuhkan keinginan, agar agama tidak memberatkan, bukan menyederhanakan, dan entah apakah itu jalan kebenaran kadang keraguan akan memunculkan sebuah pengetahuan dan harapan untuk terus obah dan bergerak, berdamai dengan keadaan. Sebuah ruang yang diciptakan bukan untuk menyaingi atau mengebiri, tapi lebih untuk membebaskan pilihan, memodernkan orang, menganggap bahwa sesuatu yang asing itu tak selalu kafir. Cercaan bukan ancaman, merobohkan bukan halangan untuk terus menggerakan dan memerdekakan orang dari kungkungan tradisi yang membelit diri. Secuil ruang bernama “Langgar Kidul” mungkin itulah yang ingin dihadirkan. Keluwesan dalam beragama beribadah kepada yang maha kuasa. ~Agama itu proses~. Membeli kayu-kayu kotak minuman di Beringharjo, menjadikannya sebuah meja dan kursi untuk madrasah, mencari orang-orang yang putus sekolah, atau tak bisa sekolah karena bukan anak orang berpunya, mengumpulkan sedekah dari para pengusaha untuk memberi makan orang miskin di tepi beringin. Dengan tetap menjalankan usahanya sebagai juragan batik. Semakin meneguhkan bahwa muhammadiyah terbangun dari golongan kelas menengah yang peduli, golongan yang termerdekakan secara ekonomi yang mampu untuk diakui keberadaannya di lingkungan kraton yang masih ngugemi tradisi.

*** 
Bagiku kini semua berganti seolah sulit dimengerti.
Kenapa kini dusunku kembali melanggengkan tradisi. Mungkin tak siap memperbaharui diri tergerus globalisasi ataukah arabisasi (ketika serbuan jenggot panjang dan celana congklang mulai menjadi) atau mereka takut kehilangan eksistensi diri sehingga menjadi semakin tak peduli.

***
Ketika umat mulai tak dirumat
Ketika jemaat hanya diperalat
Ketika organisasi hanya untuk memperkaya diri

Apa yang kemudian terjadi…

***
“film ini mungkin lebih menarik kalau ditonton oleh publik sendiri, biar mereka mengertisangkan paraning dumadi, menandai biar tidak keblinger, biar tidak mencari hidup di situ, biar semakin bisa menghidupi dan memberi hidup kepada yang lain” komentar seorang kawan ketika film itu selesai diputar.


***
~di tengah suara lagu dangdut, suara kodok yang beradu dan ingatan yang meloncat kuat~