Kisah: Lelaki bertato Palu & Arit di Lengannya

“Mbah kuwi gambar opo mbah?” Tanya seorang kawan, waktu itu ketika saya pun masih duduk di sekolah dasar, sering pula duduk bercanda dengan orang-orang tua di cakruk depan rumah tetangga. Aku hanya ingin bercerita tentang lelaki tua yang berperawakan tinggi, tentu kulitnya sudah mulai keriput, yang kuingat waktu itu. Salah satu tetua dusun yang hari ini kembali menghadap illahi. “aku dulu anggota tentara pelajar ikut perang makanya kemudian di tato lengan kananku” jawabnya ringkas. Waktu itu tentu sebuah jawaban yang tentu melegakan bagi ku dan kawan-kawan lain seusia.
Tak banyak yang ku dengar, sepotong-demi sepotong kisah hidupnya. Tentu ini hanya sepotong kisah dan tentu hanya dengar dari cerita. Namun yang pasti ku ingat, radio transistor miliknya selalu menyala, memperdengarkan kethoprak kala siang pulang sekolah, dan juga wayang tatkala malam menjelang. Suara radio itu terdengar sampai ke rumahku yang hanya selang tiga rumah dari tempat tinggalnya. Radio transistor, batu batre yang selalu ia jemur di depan rumahnya. Bertemu kala malam menjelang, di akhir sehatnya ia di pasrahi sebagai keamanan untuk menjaga sebuah rumah bertingkat satu-satunya di dusun kami waktu itu. Radio transistor itu tak terdengar lagi setelah gempa melanda, radionya ikut rusak tertimpa reruntuhan rumahnya, bersamaan dengan itu pula ia tak lagi terlihat jalan-jalan waktu malam atapun ikut kembali duduk-duduk di cakruk tempat ku biasa melihat dia mengenggar-enggar penggalihan, mencari udara segar bercanda dan bercerita dengan kawan-kawan sebayanya.  Ia pun mulai hanya bisa duduk dan tidur di tempat tidurnya, menunggu saat ajal menjemput yang entah kapan itu datangnya. Ia hanya pasrah menunggu. Kawan-kawan seusianya kini sudah tak ada lagi, tinggal ia yang tersisa. Bahkan terdengar sriwing-sriwing tetangga kalau ia tak bisa meninggal jika ilmu yang ia miliki tidak dilucuti semuanya, diluwari, di hilangkan dari tubuhnya. Itupulalah mengapa saat jam 2 dini hari aku masih terjaga sempat mencium aroma kemenyan dan dupa dibakar tepat 3 hari sebelum dia tiada. Sempat pula aku mendengar, bahwa ia memiliki ajian welut putih, ataupun memiliki tombak yang memencar cahaya tatkala malam sewaktu rumahnya runtuh terkena gempa. Konon ilmu itu dimilikinya semenjak muda. Pernah juga dengar cerita kalau dulu kakinya pernah remuk di hajar orang di dekat rel kereta, kakinya di tindih batu diatas bantalan kereta.
Satu orang yang membuat kakinya normal kembali pun telah tiada 4 tahun sebelum dia. Sungguh di luar nalar manusia.  Ayah seorang guru ngajiku waktu kecil hingga remaja telah bisa mengobati kaki remuknya seperti sedia kala. Memang bapak tua itu di kenal sebagai seorang pembaca Kitab babad Muhammad waktu ada keluarga yang melahirkan. Ia selalu diminta untuk membaca, menembangkan babad Muhammad selama 7 hari tanpa henti. Ia pula yang mengajariku beberapa istilah jawa, Mbah Darmo namanya. Salah satu juga tetua dusun yang sering pula ku ikuti ketika sebuah ancak dan senik berisi nasi dan uba rampenya dibawa perempuan tetangga di sawah tempat padi yang akan mulai di panen. ‘methik’ istilah untuk upacara pertama sebelum panen dilakukan, tentu masa kecil yang menyenangkan. Makan di tengah sawah dengan nasi hangat, sambel gepeng, ikan asin, telur yang di bagi rata, serta rebusan daun turi. Menyenangkan bukan. Mbah Darmo mulai merapal japa mantra, menyalakan kemenyan diatas sabut kelapa, mulai berdoa memanjatkan persembahan kepada dewi padi, dewi pemberi kesuburan. Memetik panen pertama seikat dengan menggunakan ani-ani mengikatnya dan memberikanya kepada yang punya hajat untuk kemudian di taruh di senthong rumahnya. Aku selalu melihat ikatan padi itu di rumah  mbokde yang mengasuhku waktu kecil.
Lelaki tua yang ada tato palu dan arit di lengannya, pada masa mudanya berprofesi sebagai maling. Tato dilengannya menurut cerita, didapatkanya ketika dia dipenjara di tanah Nusa Kambangan tempat para Tapol dipenjara. Bagaimana ia bisa sampai sana tak banyak cerita, namun ia tak pernah sekalipun terkait dengan aktivitas partai yang pernah di larang di Indonesia. Walau depan rumahnya menurut cerita, digunakan untuk berlatih gamelan waktu jamnya LEKRA masih ada. Bagaimana ia bisa lolos dan keluar dari Nusa Kambangan itupun tak banyak cerita, hanya dia sempat bercerita kalau ia berenang dari pulau itu untuk sampai ke tanah jawa. Maling ya ia memang berprofesi sebagai maling tenar di masa mudanya.  
“Sewaktu saya menggantikan bapaku menjaga jagung yang sudah mulai berposol, waktu malam hari, tiba-tiba saja Mbah itu datang membawa setenggok (senik) besar dan dua tampah besar diatasnya. Berisi nasi sayur dan telur juga daging sapi sebesar telapak tangan, saya masih menyaksikan itu waktu saya kecil” cerita seorang tetangga di tanah pekuburan siang itu. “jaman itu pangan sangat berharga sekali di banding emas dan rojo brono, emas waktu itu hanya 30 sen sampai 3 rupiah, jhan ora mbejaji” imbuhnya. Saya hanya menandai mungkin itu waktu malari, saat dimana makan susah dan kelaparan di mana-mana. Mencuri setenggok nasi dan makanan, tentu bukan di setiap rumah, namun pasti, barang itu di curi dari rumah seorang kaya yang baru menyelenggarakan pesta. Ah aku tak membayangkan bagaimana modus operandinya. Tapi pasti ia memiliki ilmu kanuragan yang lebih, ngelmu yang bisa membuat orang tertidur, bahkan mungkin banyak orang, karena tentu di tempat hajatan pasti banyak orang terjaga, mungkin ia menggunakan ilmu sirepnya, merapal japa mantra agar semua orang terlelap dalam tidurnya sehingga ia dengan mudah beroperasi mengambil semua yang ia suka. Satu lagi ajian welut putih, itu juga yang membuat dia bisa menghilang, tak terkejar, bisa memyembunyikan dirinya, ngglibet dan licin seperti belut. Itupun juga hanya cerita soal kebenarannya aku sendiri tak pernah mendapatkan keterangan darinya.
“Katanya, waktu sakit dan badannya panas dia meminta pada anaknya untuk melumuri dirinya dengan lendut, lumpur”ujar seorang kawan, seolah membenarkan bahwa ia mempunyai aji welut putih itu.
Wo Mangun, tetanggaku selalu menyebut namanya dengan sebutan itu. Nama nya sebenarnya Mangun Dikan, aku tak mengerti makna lebih dalam namanya, sebuah nama jawa. Mangun adalah membangun, semantara Dikan, mungkin lebih lekat dengan kata per-dikan. Namun kisahnya cukup fenomenal, terkenal sebagai maling Konthengan, yang sangat sulit untuk di kejar dan di tangkap.

~Senin,6 September 2010~
Sejumput kisah yang coba di rangkai di malam pertama takziah di rumahnya, sugeng tindak Mbah, kisah lengkap perjalanmu tentu mengesankan untuk diulas dan diceritakan. Tentu ini bukan untuk mencela, namun untuk menandai bahwa pernah ada seorang manusia yang bersiasat dengan hidupnya dan kondisi sosialnya yang menuntutnya untuk berstrategi lebih terhadap hidupnya.