Rokok dan tuak

“Ketika anak sudah enggan untuk duduk manis di bangku sekolah, apa kemudian yang diajarkan orang tua kepada anaknya?” Sebuah pertanyaan kecil ku coba lesakkan di tengah-tengah obrolan pagi itu, menjelang siapnya sarapan pagi, di teras rumah.

“Masyarakat di sini kehidupannya sangat bergantung dengan hutan dan sungai yang ada disekitar mereka, saya dulu benggal, tak mau nurut untuk sekolah dan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi” Jawab lelaki setengah baya itu.

 “Nenek saya kemudian memberikan saya sebungkus rokok dan sekotak korek” imbuhnya.

 “ya kenapa rokok dan korek” tanyaku kemudian.

“Waktu itu mungkin usiaku baru belasan awal, SD ku tak tamat. Aku sudah mulai enggan bersekolah, ya selain jauh dan harus tinggal di kampung sebelah jauh dari orang tua, juga karena aku sudah agak malas dan kurasa otakku tidak mampu untuk melanjutkan sekolah. Yang penting aku bisa menulis dan membaca sudah cukup untuk bekal hidup” tambahnya.

“Ya, kenapa rokok dan korek tentunya”  desakku

“Ada benarnya juga didikan Arwah nenekku itu, Orang di sini semuanya merokok, tidak hanya lelaki, perempuan bahkan anak-anak juga lihai menghisap rokok dan memainkan matches” terangnya.

“ya, saya menyaksikannya, dan kenapa rokok” sergahku kemudian tak sabar mendengar alasan yang ia kemukakan.

“Hampir setiap hari, orang disini masuk ke hutan, jauh dari jalan perusahaan. Hanya Mandau/parang yang ia bawa, memasang jerat, memburu babi atau payau, mencari kayu, mengambil rotan, memanen buah-buahan hutan untuk hidup dan makan sehari-hari. Dari hutan warga disini mendapat makan, selain dari berladang tentunya” jawabnya kemudian.

“O…. ya berladang, saya tahu itu. Dan kenapa rokok?” tanyaku sekali lagi.

“Ketika berburu, mencari rotan, ghaharu, payau atau pasang jerat babi, tentu tak hanya satu dua hari, bahkan sampai tiga hari, ya kadang pula sering tersesat di hutan, tak tahu jalan keluar karena hutan di sini masih hutan alam rimbun dan gelap. Jika orang merokok pasti tentu ia tak akan lupa membawa koreknya, nah dengan api itulah mereka biasanya bisa bertahan, untuk membuat perapian, memanggang sebagian hasil buruan berbekal garam dan vetsin, cukup sudah.” Jelasnya.

“Hmm…. Menarik”  kataku singkat.

“Ya, asap rokok menjadi penghalang nyamuk juga selain juga harus membuat perapian untuk mencegak nyamuk dan mengetahui jika ada hewan yang akan menyerang. Selain rokok dan mengunyah pinang satu hal lagi yang ditularkan orang tua kami, Tuak” tambahnya.

“Kenapa lagi dengan Tuak” tanyaku kemudian.

“Setiap keluarga di sini punya kemampuan untuk membuat tuak, menyisakan hasil dari panen ladangnya, merebus dan menjerang beras hasil ladang, membuat fermentasi dan mendiamkannya di gentong besar, Kemudian menyajikannya dikala upacara-upacara adat, menjelang tugal tanam atau setelah masa panen berakhir. Pesta panen” tukasnya jelas.

“Kenapa semuanya minum tuak, tidak hanya laki-laki , perempuan bahkan anak-anak juga ikut minum itu” tanyaku

“Dunia kami keras, ada sungai yang beriam besar, yang lekat dengan maut. Hutan kami buas, tak jarang kera menyerang ladang kami, kebun yang kami tanami. Kami ingin anak-anak kami tumbuh besar dan kuat. Setelah air susu ibu habis mereka reguk, tuak lah kemudian yang mereka minum. Biar otot tubuh mereka kuat, mata mereka awas memerah, mereka bisa menguasai diri dari pengaruh minuman itu, kemudian bisa bernyanyi dan menari dengan benar, di perayaan yang kita gelar. Kamu orang pasti senang jika kita selenggarakan pesta, babi disembelih, tuak tak ada habis, gong dibunyikan tarian-tarian diselenggarakan semua menari dan menyanyi, daripagi sampai pagi lagi ketika saat perayaan tiba.”terang dia agak panjang.

“Hmmm… “ gumamku

“Ya rokok, korek api dan tuak. Itulah kehidupan kami bertahan untuk bisa hidup di tanah moyang kami di pinggir sungai di tepi hutan, di sinilah kami hidup, berbagi dan saling menghidupi” jelasnya mengakhiri pembicaraan.


Bersama kopi yang terlalu manis, kebulan asap dari tembakau yang terbakar
(21122010)