Dunia Kecilku dimakan Pria Berjenggot

Sudah sore waktu itu, tatkala mentari masuk kembali ke peraduan, cahaya merah masih sedikit tersisa semburat. Suara-suara yang menurut salah satu kawan komponis amerika menyebutnya sebagai suara "avant garde" saling sahut menyahut mulai bermunculan. Suara itu tampak dekat sekali, ya berselang parit kecil pembatas antara jalan dengan rumahku. Gedung itu berdiri megah, sudah dua lantai, bahkan mungkin akan bertambah menjadi satu lantai. Pembangunannya tak juga menandakan akan segera selesai. lama nian sudah hampir 8 bulan bangunan itu mulai dibangun, kini sudah mulai di tempati. sebuah pondok pesantren, sekolah untuk orang-orang berkathok congklang dan berjanggut tebal. Aku tak ingin menyalahkan, bagaimanapun jika uang berbicara tak ada yang muskil, tak ada yang bisa melawan. Mereka punya uang banyak, mereka punya harta melimpah ruah, mereka punya sokongan banyak entah dari mana saya sendiri tidak mau tahu.

Masih sore ketika sesahutan itu mulai berhenti, deras mengalir suara ayat-ayat tuhan diperdengarkan dari tiang tinggi menjulang, ah kenapa pula sore ku di rusak oleh suasana itu. suara-suara asik pedesaan menyambut malam kini tak kutemui lagi, Suara jangkrik, gangsir dan kodok sudah berganti dengan ustadz yang terus mencerocos soal ketuhanan, soal surga dan neraka soal kesadaran yang dilabeli oleh baju putih, dan bau parfum yang menghentak. Kadang mereka tak sadar diri, hadir di tanah siapa. Ya Gila... menyitir kata seorang teman ketika sesuatu berada di luar nalar sehatnya. Tak hanya tanah yang mereka kuasai, lingkungan yang asri, bawah tinga listrik yang biasanya ku gunakan untuk memanjat dan bermain dan membunyikan besi dengan batu atau sekedary melemparnya agar berbunyi theng.... ketika lewat jalan itu.

Lebih gila lagi, lokasi di sebelah timur desa, tegal kami menyebutnya kini berdiri kokoh bangunan yang membujur ke selatan, hingga mereka membuang tahi mereka di kali, sungguh keterlaluan menurut penilaianku. Tegal yang seharusnya menjadi ruang cadangan air bagi kami, tetumbuhan dan pohon-pohon sebagai tempat main dan mencari gangsir waktu kecil kini kebak bocah.

Aku jengah malam ini dengan kondisi seperti ini, belum lagi lalu lalang mereka melewati jalan-jalan, lorong-lorong yang kadang tak semestinya mereka lewati, anak-anak. Ya mereka masih anak-anak yang tentu harus diberitahu, harus dikasih tahu. ah mungkin karena kami terlalu menerima dengan tangan terbuka, dengan sabar dan sadar bahwa mereka satu agama, satu saudara dan membawa berkah terhadap harga tanah dan haraga sewa. lebih kurang ajar lagi kini warga desa sudah mengenal apa itu loundry, rumah petak yang disewakan untuk menampung mereka, lebih baik kalau disewakan tetapi ada beberapa yang dengan sadar berpindah kepemilikan, ya mereka kini menguasai.

aku ingin mengubur kejengahan ini, keengganan untuk bersikap terbuka, keengaanan untuk bersuara, ah biar saja jika memang ini dikehendaki, jika memang semuanya berjalan dan saling menghidupi.