Di Buru Jangan buru-buru

Menuju ke buru sore itu, awal bulan April 2014. Sedianya ingin memggunakan kapal cepat, namun apa daya kapal cepat hanya ada dua hari sekali. Jadwal hari itu kapal cepat baru mengisi penumpang di Namlea. Yaks, harus segera meninggalkan pelabuhan kecil menuju pelabuhan besar tempat kapal fery bersandar. Kakak ojek pun segera memacu sepeda motornya ke pelabuhan besar melewati pasar ambon. Hmmmm ikan dan ah durian seram yg lagi musim-musimnya sayang terlewatkan. Semoga ada lain hari mencicipi durian yg katanya hanay 5000 samapi 10.000 rupiah perbiji. Kalau dilihat sih hanya kecil saja namun katanya ya rasannya beda dengan durian jawa atau sumatra. Pohonnya usianya sudah puluhan tahun, makanya tak heran buahnya kecil... eh apa hubungannya yaks. Trus lagi, buah langsa hmmmuanis banget katanya, lebih enak dari duku. Ah Ambon musim buah sekarang, sengaja melewatkan karena di buru waktu tuk segera ke Buru.
Sampai jugalah ke pelabuhan besar. Ongkos 20.000 diberikan kepada tukang ojek. Ya kupikir setimpal lah jarak antara kantor gubernur ke pelabuhan besar bagi pejalan pertama di maluku yg pemalas. Malas untuk menawar lebih baik dari harga yang diajukannya sebesar 25.000 rupiah. Segera beringsut, dan masuk ke gerbang, lorong tiket dan segera ke loket.
"Tiket mama yg vip" pintaku
"Ah tiket vip habis adanya yg ekonomi, mau"jawab perempuan dalam loket itu, tampak lesu dan ngantuk. Mungkin sesiang hingga sore ia menunggu penumpang diloket. Yah sudah tiket ekonomi tuk KM TEMI pin kudapatkan, ditiket tertera 66.000 plus cap stempel yg bertuliskan angka 71.000 ah ya sudah lah bayar saja. Ekonomi tanpa tempat tidur. Berangkat jam 20.00 Wit nyampe di namlea sebelum terang kata tukang ojek. Pasrahlah kepada nasib.
Beberapa pegawai Dinas pehubungan tampak duduk di depan loket masuk ke kapal. Ada juga dua orang loreng ijo dan seorang wereng coklat. Si loreng ijo pun menyarankan untuk tanya ke ABK kapal siapa tahu masih ada sisa kasur karena ABK menyediakan persewaan kasur untuk penumpang. Sip, dapat kasur. Segera meluncur ke kapal. Jam 15.30 wit. Dek masih tampak kosong, belum banyak kendaraan yg parkir. Menaiki tangga, beberapa penumpang sudah menggelar tikar di bawah tangga. Ah pasti sudah kehabisan kasur, pikirku. Segera bergerak ke atas. Lantai penumpang, dan mencari ABK yg dimaksud. Setelah bertanya ke beberap penjual tikar dan makanan, akhirny ketemulah dengan abk berperawakan kecil. Sip, puji tuhan masih ada kasur yg disewakan. 25.000 kasur satu. Ah yaks gak masalah, yg penting punggung bisa lurus di kapal.
Menunggu, merupakan aktifitas keseluruhan di hari itu, setelah sebelumnya menunggu surat di kantor provinsi, kini harus menunggu lagi 4 jam. Ah tak masalah ada kasur kan, bisa tidur walau lumayan panas cukuplah untuk membunuh waktu. Sebentar kemudian bangun dan mengamati sekeliling. Berbincang dan di dek kapal serta mengamati penjual telur rebus, kacang bawang, pisang goreng dan tikar di dalam kapal. Cukup riuh dan ramai. Ganjal perut dengan jagung manis rebus. Manis sekali, semanis harganya 5000 rupiah setongkol.
Perut lapar belum bernasi memaksaku harus turun dari kapal. Di depan loket dan pagar ternyata sudah berjejer puan-puan penjual minuman kemasan, nasi dus plastik dan makanan ringan. Walau ada warung makan yg mungkin orang jawa karena jual bakso dan soto ah aku lebih memilih nasi bungkus berlauk ikan dengan sedikit sayur kacang, mie dan telur rebus separo plus sambal, lumayan 15.000 rupiah. Bungkus dan  makan di kapal tentu lebih nikmat. Sikat dan ludas. Ah kenyang.
Kembali menikmati suasana, riuh para penumpang yg kepanasan karena semakin banuak yg masuk ke kapal, laki perempuan dewasa dan anak-anak. Mencicip lagi pisang goreng tuk hidangan penutup. Lumayan ambon rasanya, manise dan cukup dengan 2000 sebuah. Menyapa beberapa penumpang, bercerita mau ke mana, dari mana dan ketemu siapa. Bertemulah dengan pak Darsono, transmigran tahun 80an asal Temanggunh ini kini memiliki sebuah warung nasi di pasar Mako. Ia bercerita mengenai perantau buton yg menurut dia sangat nekat, hanya bermodal batang ubi orang buton bisa menggarap lahan dilokasi yg belum digarap naik ke pegunungan. Yang terpenting bagi orang buton hanyalah jalan setapak yg bisa dilaluinya untuk berjualan hasil pertanian. Bahkan untuk mendiami pulau kosongpun dilakukan selama masih bisa ditempuh dengan kapal, tak terlalu peduli dengan pendidikan anaknya. Berbeda dengan orang jawa, kemampuan dan modal yg dibawanya harus cukup. Kalau tak berdagang bakso, nasi ua dibawa pemerintah tuk jadi transmigran dikasih tanah, rumah dan jatah hidup satu tahun, bahkan lebih. Orang buru menurutnya kebanyakan pendatang, warga asli tinggal di pegunungan, selain jawa, buton, makasar, ambon, dan timor semenjak gunung botak berbuah emas hampir dari segala penjuru indonesia datang ke Buru. Sumatra, manado, tasikmalaya, kalimtan ah semua wilayah berbondong-bondong ber buru emas. Tahun 2011-2012 merupakan puncak perburuan emas di pulau buru. Dalam satu bulan menurut dia, uang yg beredar di pulau buru ini hampir 17 trilyun. Tak heran beragam kebutuhan pokok naik dan harga-harga semua naik. Nah loe bakal makan makanan mahal.
Cerita mengenai emas juga terlontar dari beberapa anak muda yg berada di sekeliling. Seorang pemilik ponton, perahu pengangkut kendaraan sekali nyebrangkanmengikuti arus sungai mendapatkan 100 ribu rupiah. Harga hari biasa hanya 30 ribu rupiah. Sebulan ia bisa mendapatkan uang 300 juta hanya dari ponton saja. Bisa anda bayangkan berapa uang orang yg berhasil mengeruk emas dari gunung botak tersebut. Ah tak usah membayangkan emas, karena  emas itu menyilaukan. Pendapatan warga naik, semua barang kebeli, motor, perhiasan, mobil bahkan rumah menjadi bagus dan kuat kehidupan merangkak naik, hampir semua terjun ke emas, ya seperti wabah, menyebar di lokasi-lokasi endemic.
Obrolan demi obrolan berganti tema dan sedikit pembahasan, semua tentu untuk membiarkan waktu berlalu hingga kapal mulai melaju. Jam 20.00 wit, mulai pengeras suara mengumumkan bahwa kapal akan berangkat. Terompet kapal berbunyi 5 kali. Jangkar di tarik kapal melaju, perlahan dan perlahan, digoyang ombak ke kanan dan ke kiri. Ah mending tidur lagi, angin di luar kencang se,entara di dalam cukup hangat, tidur dan berpeluh, tak mengapa demikian nasib penghuni kelas ekonomi, melantai. Beruntung masih ada kasur busa, tidak melantai seperti beberapa yg lain, tak tega namun ya gimana lagi, sistem ekonomi mengharuskan siapa cepat dia dapat, siapa dapat dia bisa menetukan tempat. Ahnsudahlah tidur saja, tak usah banuak cakap.
Jam 00.15 wiy, bangun dan pengen mencoba wc, ternyaat ya nggak jorok-jorok amat. Amat aja gak jorok kok. Walau kran air sudah tak mengalir air namun bak cukup penuh untuk sekedar membilas asal keluarnya air yg berseni dan menggelontor lobang buang. Saatnya menikmati jamuan istimewa di setiap perjalanan; mie cup dan kopi. 10 rebu untuk secup mie rebus dan 5000 untuk segelas plastik kopi. Lumayan penambah energi untuk tidur. Menikmati sambil menonton tv yg memiliki banyak chanel yg direllay ke beberapa tv yg ada dikapal dengan satu tv kontrol. Yah ngikut dah yg pegang digital mua muter apa. Ngechase hp pun bisa dilakukan disitu dengan ongkos listrik 5000 rupiah sekali charge.
Dan kembali kenyang trus kembali tidur. Sampai kapal sudah dekat ke Namlea. Terbangun ketika anak perempuan berujar ke mamanya "mama... kapal sudah sandar" ya dan pengeras suara pun segera mengumumkan bahwa sudah sampai, bell dibunyikan tanda penumpang bisa keluar dari kapal.
Menginjakkan kaki di Buru, ingatanku kembali ke bacaan mengenai tapol, bagaimana mereka datang, digiring dan ditemparkan di tempat pemanfaatan ah terlalu roman but ini sejarah. Sedikit terlintas, semoga menemukan orang di buru yg bisa memberi jawaban. Mbah Pram aku di Buru..... Halahhhhh sudah lah foto dulu di dermaga (1-2 april 2014).

Aku tiba di Buru
Negeri alifuru
Semasih di Buru jangan terburu
Walau pekerjaan terus memburu